Beranda | Artikel
Penjelasan Kitab Tajilun Nada (Bag. 24): Jama Muannats Salim (Lanjutan)
10 jam lalu

Jama’ muannats salim (lanjutan)

Materi ini merupakan lanjutan pembahasan tentang Jama’ muannats salim. Setelah sebelumnya mempelajari pengertian, ciri, dan i’rab Jama’ muannats salim, pada bagian ini kita akan membahas bentuk-bentuk kata yang mirip, namun tidak termasuk ke dalam kategori tersebut. Pembahasan akan mencakup perbedaan antara alif atau taa’ asli dengan alif atau taa’ tambahan, serta beberapa bentuk isim yang termasuk mulhaq jama’ muannats salim dan isim maa laa yanshorif. Pemahaman lanjutan ini akan membantu kita lebih cermat dalam mengidentifikasi dan meng-i’rab kata sesuai kaidah nahwu.

Pensyarah kitab menjelaskan, “Tidak termasuk dalam pembahasan ini jika alif-nya berupa alif asli. Pada isim muannats salim, terdapat alif tambahan. Jika ada suatu kata yang diakhiri oleh alif asli, maka itu bukan isim jama’ muannats salim.”

Contohnya adalah:

قُضَاةٌ

“Para hakim.”

غُزَاةٌ

“Para penyerang.”

Huruf taa’ pada dua contoh di atas terlihat seperti alif tambahan, padahal aslinya huruf alif tersebut adalah huruf asli karena alif tersebut adalah pengganti dari huruf asli. Alif tersebut merupakan bentuk perubahan dari huruf aslinya.

Kata aslinya adalah:

قُضَايَةٌ

“Hakim.”

Proses perubahannya adalah huruf ق di atas diberi harakat dhammah, dan huruf ض serta ي diberi harakat fathah. Kata قُضَايَةٌ berasal dari fi‘il madhi قَضَيْتُ. Huruf ي dan huruf sebelumnya pada kata قَضَيْتُ tersebut diberi harakat fathah, kemudian huruf ي tersebut diganti dengan huruf alif, sehingga menjadi: قُضَاةٌ.

Kata tersebut manshub dengan tanda fathah. Contohnya adalah:

أَكْرَمْتُ قُضَاةَ الْبَلَدِ

“Aku memuliakan para hakim negeri ini.”

Tidak termasuk pula dalam pembahasan ini jika huruf taa’nya berupa taa’ asli. Contohnya seperti:

بَيْتٌ

“Rumah.”

Bentuk jama’-nya adalah:

أَبْيَاتٌ

“Rumah-rumah.”

مَيْتٌ

“Mayat.”

Bentuk jamaknya adalah:

أَمْوَاتٌ

“Mayat-mayat.”

صَوْتٌ

“Suara.”

Bentuk jamaknya adalah:

أَصْوَاتٌ

“Suara-suara.”

Contoh-contoh pada bentuk jamak dari masing-masing kata di atas adalah taa’ asli. Alasannya adalah adanya huruf taa’ pada bentuk mufrad-nya juga. Sehingga huruf taa’ di sana bukanlah huruf taa’ tambahan, melainkan huruf taa’ asli.

Oleh karena itu, contoh-contoh kata di atas manshub dengan tanda fathah, bukan dengan kasrah seperti isim jama’ muannats salim.

Adapun maksud dari Ibnu Hisyam terkait kata أُولَاتُ adalah, ini adalah kata yang pertama yang termasuk bagian dari isim mulhaq jama’ muannats salim. Kata tersebut dimasukkan dalam kategori mulhaq jama’ muannats salim dikarenakan kata tersebut tidak memiliki bentuk kata mufrad, bahkan maknanya adalah:

صَاحِبَاتُ

“Pemilik-pemilik.”

Bentuk mufradnya adalah:

صَاحِبَةٌ

“Pemilik.”

Kata tersebut selalu sebagai idhoofah untuk isim jenis. Meskipun berbentuk jama’, kata ini tidak di-tanwin.

Contohnya sebagai berikut:

جَاءَتْ أُولَاتُ أَدَبٍ

“Telah datang wanita-wanita yang beradab.”

Kata أُولَاتُ dalam kalimat ini berkedudukan sebagai fa’il marfu’ dengan tanda dhammah.

رَأَيْتُ أُولَاتِ أَدَبٍ

“Aku telah melihat wanita-wanita yang beradab.”

Kata أُولَات berkedudukan sebagai maf’ul bih manshub, dan tandanya adalah kasrah.

وَمَرَرْتُ بِأُولَاتِ أَدَبٍ

“Saya telah melewati wanita-wanita yang beradab.”

Kata أُولَات pada contoh diatas berkedudukan sebagai isim majrur dengan tanda kasrah, karena didahului huruf jer bi.

Contoh dalam Al-Qur’an terdapat pada:

Surah At-Thalaq ayat 4:

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Dan wanita-wanita yang hamil, waktu idah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.”

Kata أُولَاتُ الْأَحْمَالِ berkedudukan sebagai mubtada marfu’ dengan tanda dhammah. Kata الْأَحْمَالِ sebagai mudhof ilaih. Kalimat setelahnya أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ  adalah khabar. Taqdirnya: أَجَلُهُنَّ وَضْعُ حَمْلِهِنَّ.

Surah At-Thalaq ayat 6:

فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ

“Kemudian jika mereka menyusui (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya…”

Dalam ayat ini, أُولُو dalam konteks lain juga menunjukkan bentuk jama’ yang masuk kategori serupa, dengan i’rab kedudukan sebagai khabar kaana, dan isim kaana-nya adalah nun inats yang di-idgham-kan pada nun kaana.

Menurut Ibnu Hisyam:

وَمَا سُمِّيَ بِهِ مِنْهُمَا

“Nama-nama yang berasal dari keduanya (yakni ulaatu dan jama’ muannats salim)…”

Yang dimaksud adalah kata yang menggunakan bentuk jama’ namun diperlakukan sebagaimana isim mufrad, karena sudah menjadi nama khusus.

Contohnya:

فَاطِمَاتٌ

“Seseorang yang bernama “Fathimah”.”

زَيْنَبَاتٌ

“Seseorang yang bernama “Zainab”.”

Meskipun berbentuk jama’, digunakan untuk satu orang perempuan. Contoh lainya adalah:

عَرَفَاتٌ

“Arafah (nama tempat pelaksanaan haji).”

هَذِهِ عَرَفَاتٌ

“Ini adalah Arafah (nama tempat).”

Kata عَرَفَات pada kalimat di atas berkedudukan sebagai khabar mubtada marfu’.

وَرَأَيْتُ عَرَفَاتٍ

“Aku telah melihat Arafah.”

Kata tersebut berkedudukan sebagai maf’ul bih manshub.

وَمَرَرْتُ بِعَرَفَاتٍ

“Saya melewati Arafah.”

Kata tersebut berkedudukan sebagai isim majrur karena didahului huruf jer bi.

Contoh dalam Al-Qur’an adalah surah Al-Baqarah ayat 198:

فَإِذَا أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ

“Apabila kamu telah bertolak dari Arafah, maka berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram…”

Pembahasan lanjutan mengenai Jama’ muannats salim menegaskan pentingnya ketelitian dalam membedakan bentuk kata yang secara lahiriah mirip, namun secara kaidah nahwu tidak termasuk kategori jama’ muannats salim. Perbedaan mendasar terletak pada keberadaan alif dan taa’ asli yang tidak dianggap sebagai tambahan, sehingga kata yang memilikinya tidak diperlakukan dengan i‘rab khas jama’ muannats salim. Selain itu, terdapat pula bentuk-bentuk isim mulhaq seperti أُولَاتُ yang meskipun berbentuk jamak, tetap mengikuti hukum jama’ muannats salim, serta bentuk isim maa laa yansharif yang memiliki kekhususan dalam i‘rab. Bahkan, beberapa kata yang berbentuk jama’ dapat digunakan sebagai nama khusus seperti عَرَفَات atau bentuk jamak yang diperlakukan untuk satu orang, seperti فَاطِمَات.

Dengan demikian, pemahaman yang komprehensif terhadap perbedaan-perbedaan tersebut tidak hanya memperluas wawasan kaidah nahwu, tetapi juga meningkatkan kecermatan dalam mengidentifikasi dan menentukan i‘rab kata secara tepat, baik dalam konteks gramatikal maupun dalam pemakaian praktis pada Al-Qur’an maupun bahasa Arab sehari-hari.

[Bersambung]

Kembali ke bagian 23

***

Penulis: Rafi Nugraha

Artikel Muslim.or.id


Artikel asli: https://muslim.or.id/109158-penjelasan-kitab-tajilun-nada-bag-24.html